KOMPAS.com - Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, mendiskusikan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
idEA berharap aturan main bisnis e-commerce yang akan diatur Kemenkominfo dalam Rancangan Peraturan Menteri (RPM) bisa pro industri dan turut membangun ekosistem.
PP Nomor 82 Tahun 2012 ini dinilai kurang memberi kemudahan Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam menyelenggarakan e-commerce. Selain itu, peraturan ini juga dianggap mempersulit adopsi transaksi perdagangan online.
Padahal, bisnis e-commerce dinilai punya potensi besar memajukan perekonomian Indonesia, seiring pertumbuhan pengguna internet dan terbangunnya kepercayaan publik atas e-commerce.
Dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan di Hotel Le Meridien Jakarta, Selasa (7/5/2013), ada empat isu yang menjadi perhatian idEA dalam membangun industri e-commerce tanah air.
1. Keseimbangan antara regulasi dan insentif
Pertama, soal keseimbangan antara regulasi dan insentif. Industri e-commerce yang sedang berkembang pesat harus dibarengi dengan regulasi yang pro industri. Selain itu, pemerintah juga diharap memberi insentif untuk menambah pendapatan perusahaan berbasis internet yang masih merintis.
Willson Cuaca dari perusahaan pemodal ventura East Ventures berkisah, negara Singapura sangat fokus dalam membangun ekosistem bisnis digital. Caranya, dengan memberi bantuan dana kepada perusahaan rintisan digital agar bisa mengembangkan produk.
"Pemerintah Singapura juga proaktif membangun infrastruktur telekomunikasi. Mereka membangun WiFi, kita bisa dapat koneksi internet gratis dan koneksi broadband yang bagus. Mereka bisa bangun 30.000 sampai 40.000 WiFi hotspot," ujar Wilson yang sudah lama tinggal di Singapura.
2. Definisi transaksi elektronik dan pelayanan publik
Isu kedua adalah soal definisi transaksi elektronik dan pelayanan publik yang ada di PP Nomor 82 Tahun 2012.
Terkait definisi transaksi online, dalam bisnis e-commerce ada beberapa kegiatan dan model bisnis, yakni iklan baris/forum, marketplace, online retail, daily deals, dan price comparison/agregator.
Nah, idEA meminta kejelasan tahapan mana saja dalam e-commerce yang dianggap sebagai transaksi elektronik?
Dalam layanan iklan baris, seperti Tokobagus.com contohnya, di sana tidak terjadi transaksi karena perusahaan memberi fasilitas pemasangan iklan baris gratis. Di sini Tokobagus hanya berperan sebagai media.
idEA juga tidak sependapat dengan PP Nomor 82 Tahun 2012 yang menyebut perusahaan e-commerce sebagai penyelenggara pelayanan publik.
Menurut Shinto Nugroho, Head of Public Policy and Government Relations Google Indonesia, pelaksanaan dan proses e-commerce sepenuhnya bersifat privat. Semua orang bebas memilih ingin berbelanja secara online atau tidak. "E-commerce tidak sama dengan rumah sakit," ujarnya.
Mengacu pada klasifikasi dan definisi penyelenggara pelayanan publik dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 dan PP Nomor 96 Tahun 2012, idEA berpendapat bahwa penyelenggara e-commerce tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyelenggara pelayanan publik.
3. Kewajiban data center di Indonesia
Yang ketiga soal penggunaan data center di Indonesia. Pihak Kemenkominfo berpendapat, perusahaan internet yang menyimpan data publik, harus menempatkan data center di Indonesia untuk menjaga keamanan nasional. Jika ada suatu pelanggaran atau tindak kejahatan terkait perusahaan berbasis internet, penegak hukum bisa melacak pelaku dari informasi yang tersimpan di data center Indonesia.
"Kalau data center-nya ada di luar negeri, kemudian ada masalah terkait perusahaan internet, penegak hukum akan sulit mendapatkan data fisik. Karena itulah data center kita wajibkan ada di Indonesia," tegas Ashwin Sasongko, Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo.
Namun, kebanyakan perusahaan berbasis internet lokal saat ini lebih banyak menempatkan data center-nya di luar negeri. Alasannya, biaya yang dikeluarkan lebih murah.
Ketua Umum idEA Daniel Tumiwa mengatakan, memakai data center di Indonesia biayanya bisa dua kali lebih mahal dibandingkan data center di luar negeri. Hal ini diamini Presiden Direktur Biznet Network Adi Kusma, yang mengatakan bahwa biaya bandwidth adalah komponen termahal jika perusahaan menempatkan data center di Indonesia.
"Biaya bandwidth jika data centre ada di Indonesia memang mahal. Harganya bisa 7 dollar AS per MB, sementara di Eropa atau Amerika cuma 3 dollar AS per MB. Bandwidth inilah yang jadi masalah, kita harus benahi bersama," katanya.
Keharusan perusahaan internet menempatkan data center di Indonesia baru diimplementasikan pada 2015. Ini berlaku untuk perusahaan asal Indonesia. Perusahaan lama yang terlanjur memiliki data center di luar negeri, harus memindahkan data center-nya ke Indonesia. Sementara perusahaan baru harus langsung buat data center di Indonesia.
Ashwin memberi pengecualian, jika sebuah perusahaan membutuhkan data center dengan standar tier 4, dan di Indonesia belum ada penyedia data center yang memenuhi standar tersebut, maka pemerintah mempersilakan perusahaan tersebut membuat data center di luar negeri.
4. Kewajiban memakai domain lokal (.id)
Isu terakhir yang disoroti adalah soal kewajiban menggunakan domain kode negara Indonesia atau .id (dot id). Hal ini dilakukan untuk meminimalkan aksi kejahatan siber dan menekan angka penipuan oleh e-commerce abal-abal.
Rencananya pada akhir 2013, Kemenkominfo mewajibkan penyelenggara e-commerce melakukan registrasi dan diharuskan memakai domain berakhiran .id. Situs e-commerce yang dengan domain Indonesia dan terdaftar, akan dipublikasi sebagai situs belanja yang aman.
Dengan metode registrasi dan penggunaan domain lokal ini, pemerintah bisa melakukan pelacakan, pemblokiran, hingga memberi hukuman kepada penyelenggara e-commerce yang nakal. "Setidaknya kita bisa minta PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia-red) untuk menutup situs tersebut. Kita sudah melakukan beberapa kali untuk situs yang ternyata menyelenggarakan perjudian," terang Ashwin.
Namun, tak semua pengusaha e-commerce sepakat dengan rencana ini. Pendiri sekaligus CEO Tokopedia, William Tanuwijaya berpendapat, pemakaian domain lokal akan menyulitkan situs e-commerce untuk bersaing di level global.
China merupakan negara yang konten internetnya dikuasai oleh pemain lokal. Pemerintah setempat tidak mengharuskan situs web memakai domain lokal, agar mereka dapat bersaing dengan pemain global yang memakai domain .com.
Dengan adanya masukkan dari pelaku bisnis, pemerintah diharap bisa melihat kelemahan aturan di sektor teknologi yang dapat menghambat industri. Draf Rancangan Peraturan Menteri (RPM) saat ini sedang diproses oleh Kemenkominfo, setelah itu dilakukan uji publik. RPM ini rencananya akan disahkan tahun 2014.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar