Pages

Ads 468x60px

Labels

artikel (102) gadget (5) go green (3) green (2) indonesia (9) internet (10) iptek (13) IT (15) linux (3) lirik lagu (99) microsoft (10) save earth (6) Sistem Ekonomi (5) tokoh (4) windows (8)

Jumat, 22 Februari 2013

Cerita Rakyat Sumatera Selatan - Semesat dan Semesit


Alkisah, di daerah Sumatra Selatan tersebutlah seorang raja yang sudah beberapa tahun menduda. Permaisurinya meninggal tidak lama setelah melahirkan kedua putra mereka yang kembar. Kini, kedua putranya yang diberi nama Semesat dan Semesit tersebut telah beranjak remaja. Setiap hari kedua putra raja itu hanya bermain bola. Saking gemarnya bermain bola, mereka terkadang lupa makan dan tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Sang Raja sangat sedih melihat perilaku kedua putra kesayangannya itu. Ia ingin sekali mendidik mereka, namun ia tidak mempunyai waktu karena sibuk mengurus tugas-tugas kerajaan. Oleh karena itu, ia menikah lagi dengan harapan ada orang yang bisa merawat dan mendidik kedua putranya.

Namun, harapan sang Raja hanya tinggal harapan. Permaisurinya yang baru itu bersedia menikah dengan dirinya karena hanya menginginkan harta dan kedudukan. Ia tidak senang terhadap Semesat dan Semesit yang kerjanya hanya bermain bola. Akan tetapi, sikap ketidaksenangannya terhadap kedua anak tirinya itu tidak diperlihatkan kepada sang Raja.
Suatu pagi, sang Raja akan mengadakan rapat di Balai Panjang. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada permaisurinya, “Wahai, permasuriku! Tolong siapkan jamuan makan siang untuk para peserta rapat!”
“Baiklah Kanda, Dinda akan menyiapkan makan siang secukupnya!” jawab permaisuri Raja.
Setelah sang Raja berangkat, permaisuri bukannya menyiapkan jamuan makan siang, melainkan mengambil cabe merah lalu mengoleskannya pada wajahnya. Dalam sekejap, seluruh wajahnya menjadi bengkak dan memerah. Begitu hari menjelang siang, rombongan peserta rapat pun datang hendak makan siang. Alangkah kecewa dan malunya sang Raja karena tak sedikit pun hidangan makan siang yang tersedia. Sang Raja pun menjadi murka dan marah kepada permaisurinya.
“Dinda, apakah Dinda tidak mendengar pesan Kanda tadi pagi? Kenapa Dinda tidak menyediakan hidangan makan siang?” tanya sang Raja dengan wajah merah.
“Ampun, Kanda! Kanda jangan marah dulu. Coba lihatlah wajah Dinda ini!” jawab permaisurinya sambil menunjukkan wajahnya kepada sang Raja.
“Hai, apa terjadi dengan wajahmu? Kenapa bisa bengkak dan merah seperti itu?” tanya sang Raja dengan heran.
“Ampun, Kanda! Semua ini terjadi akibat dari ulah Semesat dan Semesit,” jawab permaisuri dengan nada mengadu.
“Apa yang mereka lakukan terhadap Dinda?” tanya sang Raja penasaran.
“Begini, Kanda! Ketika mereka sedang asyik bermain bola, tiba-tiba bola mereka melesat dengan kencang dan mengenai wajah Dinda,” ungkap permaisuri.
“Sekarang Kanda boleh menentukan pilihan, mau memilih Dinda atau kedua putra Kanda. Jika Kanda masih sayang kepada Dinda, maka buanglah mereka ke tengah hutan. Sebaliknya, jika Kanda masih menyayangi mereka, Dinda pun siap untuk dibuang,” hasut permaisuri.
Rupanya, sang raja termakan oleh hasutan itu sehingga ia percaya begitu saja pada ucapan permaisurinya tanpa terlebih dahulu mencari tahu kenyataan yang sebenarnya.
“Baiklah, Kanda lebih memilih Dinda. Semesat dan Semesit harus diberi pelajaran. Mereka harus kita asingkan ke tengah hutan,” tegas sang Raja.
Keesokan harinya, Semesat dan Semesit pun diasingkan ke hutan. Betapa senangnya hati permaisuri terhadap keputusan yang diambil sang Raja. Dalam hatinya ia berkata bahwa tidak ada lagi orang yang akan menghalanginya untuk menguasai seluruh harta kerajaan karena kedua pewarisnya telah pergi.
Sementara itu, Semesat dan Semesit terus berkelana keluar masuk hutan. Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan dengan menyeberangi sungai, menaiki dan menuruni lembah-lembah. Suatu hari, sampailah mereka di sebuah hutan yang di dalamnya terdapat berbagai jenis pepohonan yang tumbuh dengan subur dan burung-burung yang berkicauan. Kedua putra raja yang malang itu memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon besar dan rindang. Mereka duduk seraya menyandarkan tubuh pada batang pohon itu. Semesit pun langsung tertidur lelap karena kelelahan setelah berhari-hari menempuh perjalanan jauh. Sementara Semesat masih tetap terjaga. Walaupun badannya terasa lelah, ia sulit untuk memejamkan matanya karena memikirkan nasib mereka.
“Sungguh malang nasib kami ini. Kenapa ayahanda lebih percaya kepada permaisurinya dari pada putranya? Oh Tuhan, berilah kami petunjuk-Mu!” keluh Semesat dalam hati.
Selang beberapa waktu setelah Semesat berucap begitu, tiba-tiba seekor burung datang bertengger di atas pohon tempat mereka berteduh. Ajaibnya, burung itu dapat berbicara seperti manusia dan berpesan kepada Semesat.
“Siapa yang memakan dagingku ini, maka dia akan menjadi kaya,” ucap burung itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, Semesat langsung mengambil batu lalu melempar burung itu hingga terjatuh dari atas pohon. Ketika ia akan mengambil burung itu, tiba-tiba datang lagi seekor burung bertengger di atas pohon itu dan berpesan kepada Semesat.
“Barang siapa yang memakan dagingku, entaklah lemak nanggung kuda (menderita dulu baru kemudian mendapat bahagia),” ucap burung itu.
Semesat pun kembali mengambil dan melempar burung itu hingga terjatuh dari atas pohon. Setelah mengambil kedua burung tersebut, ia segera membangunkan adiknya seraya menceritakan perihal kedua burung yang diperolehnya itu. Semesat kemudian menyerahkan salah satu dari burung itu kepada adiknya.
“Wahai, Adikku! Ambillah burung yang pertama ini agar Adik cepat menjadi orang kaya! Biarlah Abang memilih burung yang kedua ini. Tidak apa-apa Abang menderita dulu baru bahagia,” ujar Semesat.
Setelah memamakan burung tersebut, mereka pun melanjutkan perjalanan. Mereka terus menyusuri hutan belantara hingga akhirnya tiba di sebuah negeri. Menurut cerita, raja di negeri itu baru saja wafat dan belum ada penggatinya dan penduduk negeri mengangkat Semesit menjadi raja. Sementara Semesat melanjutkan perjalanan hingga tiba di daerah paling ujung negeri adiknya. Di sanalah ia tinggal menetap dengan keadaan hidup miskin. Untuk bertahan hidup, ia memakan hasil-hasil hutan yang tersedia di sekitarnya.
Suatu hari, Semesat secara tidak sengaja mengambil buah dari hasil kebun penduduk di sekitarnya karena mengira pohon itu tidak ada pemiliknya. Akhirnya, ia pun dituduh sebagai pencuri dan dibawa oleh penduduk menghadap kepada Raja Semesit untuk diadili. Raja Semesit tidak mengetahui bahwa pemuda itu adalah kakaknya. Ia pun menghukumnya dengan cara menguburnya setengah badan di dalam sekam yang disebut Bujud Keling.
Beberapa hari kemudian, terdengarlah kabar tentang seorang putri yang cantik jelita di negeri seberang lautan hendak mengadakan sayembara mencari jodoh. Isi sayembara tersebut adalah barangsiapa yang dicium oleh kuda milik sang putri maka dialah yang berhak menikah dengan putri itu. Raja Semesit yang mendengar kabar itu segera memerintahkan pengawalnya agar menyiapkan kapal untuk berangkat ke negeri itu.
Pada saat hari menjelang siang, berangkatlah Raja Semesit bersama para pengawalnya dengan membawa berbagai perhiasan dan hasil bumi untuk dipersembahkan kepada sang putri. Begitu berada di tengah-tengah laut, kapal yang mereka tumpangi tiba-tiba kandas sehingga mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan.
“Hai, Pengawal! Apa yang terjadi dengan kapal ini?” tanya Raja Semesit bingung.
“Ampun, Baginda! Jika Baginda ingin tetap melanjutkan perjalanan, sebaiknya Baginda membawa Bujud Keling,” kata seorang pengawal.
Raja Semesit pun segera memerintahkan pengawalnya agar memutar haluan kapal kembali ke istana untuk mengambil Bujud Keling. Setelah memasukkan Bujud Keling ke dalam karung, mereka kembali melanjutkan perjalanan dan akhirnya selamat sampai di negeri seberang. Di sana para raja dan pangeran dari berbagai negeri telah berkumpul untuk mengikuti sayembara. Sang Putri tampak sedang duduk di depan istana bersama keluarganya. Di halaman istana tampak pula kuda kesayangan sang putri sedang ditambatkan di bawah sebuah pohon.
Begitu gong dibunyikan sebagai pertanda acara sayembara dimulai, sang putri segera menunggangi kudanya. Kuda itu kemudian berjalan di antara para peserta untuk mencarikan jodoh yang cocok bagi tuannya. Kuda itu sudah hampir melewati seluruh peserta, namun belum satu pun yang diciumnya. Ketika akan melewati tempat duduk Raja Semesit, kuda itu tiba-tiba berhenti. Hati sang raja pun mulai berdebar kencang karena mengira dirinyalah yang akan dicium oleh kuda itu. Namun, apa yang diharapkannya itu tidak terjadi. Kuda sang putri justru mencium-cium karung yang berisi Bujud Keling yang ada di belakang kursinya. Melihat hal itu, sang putri pun segera memerintahkan salah seorang pengawal istana untuk membuka karung itu.
“Pengawal, bukalah karung ini! Jodohku ada di dalamnya,” seru sang putri.
Begitu karung itu terbuka, keluarlah seorang pemuda yang dipenuhi dengan sekam. Raja Semesit pun tersentak kaget karena tidak mengira jika karung itu berisi manusia. Rupanya, ketika pengawal Raja Semesit memasukkan Bujud Keling ke dalam karung, pemuda itu ikut masuk ke dalamnya. Dengan perasaan jengkel, Raja Semesit pun berkata kepada seluruh orang yang hadir di tempat itu bahwa dirinyalah yang dicium oleh kuda sang putri, bukan Bujud Keling itu. Ia tidak rela jika pemuda Bujud Keling itu yang menjadi suami sang putri.
“Aku tidak terima jika Tuan Putri menikah dengan pemuda Bujud Keling itu,” tegas Raja Semesit, “Pengawal, ayo kita tinggalkan tempat ini dan bawa pemuda itu kembali ke kapal!”
Akhinya, Raja Semesit pulang dengan perasaan kecewa. Di tengah perjalanan, tiba-tiba timbul niat jahatnya ingin mencelakai pemuda yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Ia memerintahkan pengawalnya agar membuang pemuda itu ke laut. Tak ayal lagi, pemuda Bujud Keling itu pun menjadi santapan ikan besar. Namun ajaibnya, justru ikan itu yang mati dan terdampar di sebuah pantai di negeri sang putri. Ikan itu kemudian ditemukan oleh seorang nelayan. Alangkah terkejutnya nelayan itu pada saat membelah ikan itu. Ia mendapati seorang pemuda yang tidak asing lagi baginya.
“Hai, Anak Muda! Bukankah engkau ini si pemuda Bujud Keling yang telah dicium oleh kuda sang putri?” tanya nelayan itu.
“Benar, Tuan! Nama saya Semesat, kakak kandung Raja Semesit,” ungkap Semesat.
“Syukurlah kalau begitu, Tuan. Mari hamba antar untuk menemui sang putri. Beliau telah menunggumu di taman bunga istana,” ujar nelayan itu.
Akhirnya, Semesat menikah dengan sang putri. Beberapa hari setelah menikah, Semesat membuka rahasianya kepada sang istri. Sang putri pun tersentak kaget dan hampir tidak percaya terhadap hal itu. Setelah itu, Semesat bersama istrinya pergi menemui Raja Semesit untuk membuka rahasia tersebut.
“Ketahuilah Adikku, pemuda Bujud Keling yang telah kamu buang ke laut beberapa waktu yang lalu adalah saya, dan saya ini adalah kakak kandungmu, Semesat,” ungkap Semesat.
Raja Semesit tersentak kaget mendengar keterangan kakaknya itu. Ia sangat menyesal karena tidak mengetahui akan hal itu. Dengan berderai air mata, Raja Semesit pun langsung merangkul kakaknya.
“Maafkan aku, Bang! Adik sangat menyesal karena telah memperlakukan Abang dengan kasar,” ucap Raja Semesit dalam pelukan sang abang.
“Sudahlah, Adikku! Ini sudah menjadi takdir. Abang memang harus menderita dulu baru merasakan kebahagiaan sebagaimana yang kurasakan saat ini,” kata Semesat dengan perasaan haru.
Menurut cerita, Raja Semesit mengundurkan diri dan mengangkat kakaknya sebagai raja. Raja Semesat dengan dibantu Semesit memerintah negeri itu dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup damai dan tenteram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar